Wednesday, March 28, 2007

Anak Jalanan, Masalah Apa?

Anak Jalanan, Masalah Apa?


Dengan menggunakan buluh ayam, anak kecil itu mencoba menghapus debu mobil yang berhenti di stopan. Supir menggelengkan kepala sambil memberi isyarat dengan tangannya pertanda menolak mobilnya dibersihkan dari debu dan sang anak menghindar dengan menggerutu dalam hati. Seorang gadis cilik menadahkan telapak tangannya kepada supir yang membuka jendela dan menyodorkan uang recehan seratus rupiah. Pemandangan yang nyaris tampak di seluruh kota-kota besar Pulau Jawa.

Ratusan ribu anak jalanan setiap hari mengerubungi kendaraan yang lewat dan berhenti di lampu stopan kala merah menyala. Barangkali jutaan. Gejala apa ini? Jauh hari, dalam beberapa dekade sebelumnya, kaum gelandanganlah yang menguasai jalanan, dengan rombongan pengemis usia tua, cacat, dan mengenaskan bentuk tubuhnya. Tetapi satu dekade belakangan ini, muncul fenomena baru, anak-anak usia di bawah sepuluh tahun dan usia belasan tahun, sekonyong-konyong bersaing dengan pendahulu mereka dan "merajai" jalan.

Berkali-kali dinas sosial memungut para pengemis dan menempatkan mereka di pusat-pusat rehabilitasi sosial, berkali-kali pula mereka kembali ke "habitat" mereka. Sampai akhirnya gejala baru ini muncul, orang dewasa yang "memperalat" anak-anak usia belasan tahun!

TRAGEDI KOTA?

Kalau ditilik dari sudut sosiologi, pertumbuhan dan perkembangan desa dan kota tentu berbeda. Umumnya, di daerah pedesaan dinamika masyarakat bersifat statis. Anak-anak lahir dalam keluarga, sementara lahan untuk mata pencaharian tidak pernah bertambah. Ladang dibentuk dari hutan, semakin jauh ke dalam, hanya sekadar untuk mempertahankan hidup. Tetapi hal itu pun tidak menolong banyak. Akibatnya, hutan semakin berkurang dan bencana alam pun turut merusak "alam" yang dijajah manusia dan menuntut "balas" kepada manusia yang merusak lingkungan.

Di perkotaan, tumbuhnya industri telah menyedot banyak tenaga kerja bagaikan magnet bagi penduduk desa. Terjadilah arus urbanisasi. Walaupun begitu, tidak semua mereka ini dapat memberi hidup kepada anak-anak di dalam keluarganya sehingga terjadilah dampak yang tidak diharapkan. Anak menjadi peminta-minta di jalan dan berusaha "memeras" rasa belas kasihan orang yang lewat. Uang recehan akan bermunculan dari balik jendela depan! Sangat mudah mendapatkan uang. Hal ini menarik lebih banyak lagi orang desa datang ke kota dan memanfaatkan anak mereka yang mudah dikasihani.

Siapa yang salah? Keadaan masyarakat ataukah keluarga anak-anak itu sendiri? Pertanyaan ini tidak dapat dijawab secara sederhana. Manusia telah memperumit situasi hidupnya sendiri. Orang dewasa "merampas" hak anak-anak untuk bermain, bersekolah, dan hidup sebagaimana lazimnya anak-anak. Mereka dipaksa orang tua untuk merasakan getirnya kehidupan. Dari keluarga miskin di desa, mampir ke kota menjadi pengemis! Sebuah tragedi zaman ini.

NASIB ANAK JALANAN

Pada suatu ketika, jalan-jalan di kota sepi dan "bersih" dari anak jalanan yang mengemis. Di mana mereka? Ditangkapi polisi! Dibawa ke mana? Ke rumah tahanan sementara! Sayangnya, rumah tahanan sementara itu kerapkali menjadi bagian dari penjara yang dihuni oleh kriminal amatir dan kawakan (kambuhan). Ruang tahanan yang sudah padat itu kemudian disesaki oleh anak-anak kecil yang "dipungut" dari jalan.

Menurut beberapa penelitian, di Amerika Latin dan Afrika, anak-anak jalanan ditangkapi oleh polisi dan dititipkan di penjara orang dewasa. Di sini mereka mengalami sesuatu yang tidak pernah dipikirkan oleh anak-anak itu sebelumnya. Mereka menjadi korban penyalahgunaan seks orang dewasa dan di sini pula mereka belajar mengenali pelbagai corak kejahatan. Sekeluarnya mereka dari "tahanan sementara" ini, mereka menjadi terdidik dan "terlatih" sebagai calon penjahat.

Berdasarkan penelitian di Brasilia, Sao Paulo, 80% penghuni penjara adalah bekas anak jalanan. Di tengah-tengah keluarga, mereka kurang dihargai, disuruh mencari nafkah sendiri, hak-hak mereka diperkosa, jasmani mereka juga diperkosa. Masyarakat luar pun banyak yang tidak menaruh simpati kepada mereka, membuat dunia anak jalanan ini semakin runyam. Mereka tidak memikirkan masa depan. Mereka mencari sesuap nasi untuk hari ini kemudian meletakkan tubuhnya, jika letih dan tidur pada malam hari, di mana saja. Dinginnya malam menjadi bagian hidupnya, teriknya siang menjadi sahabat mereka.

Kebijakan pemerintah dengan menangkapi mereka, mungkin karena faktor wisata bahwa kehadiran mereka sebagai pengemis amat merusak "wajah" kota, demi kepentingan pariwisata itu, tidak membantu mengurangi "penyakit" masyarakat ini. Tentu saja pemerintah tidak akan mampu memulihkan situasi anak-anak jalanan ini. Bagaimana dengan orang tua yang melahirkan mereka?

PEKERJA ANAK?

Anak-anak yang "beruntung" tidak terpental ke jalanan, ada yang ditampung di perusahaan industri. Tetapi pengharapan kepada buruh anak-anak ini tidaklah memadai sebab pada umumnya mereka dihargai jauh di bawah upah orang dewasa walaupun kadang-kadang jam kerja mereka melebihi jam kerja orang dewasa!

Ada ayah yang kehilangan pekerjaan justru mendorong anaknya untuk bekerja. Banyak anak menjadi pemulung karena dorongan keluarga atau orang tua mereka, atau mereka yang ditinggalkan oleh orang tua mereka begitu saja. Anak-anak yang ditampung di rumah penampungan, jika kemudian dapat menyesuaikan diri, beruntung karena mereka memiliki "keluarga besar" yang sebaya dengan mereka, dididik dan dibesarkan di lingkungan anak-anak sepermainan mereka.

PETAKA LAIN

Bencana alam, seperti yang dialami Aceh waktu gempa bumi dan tsunami yang terjadi pada 26 Desember 2004 lalu, telah membuat nasib anak-anak tidak menentu, khususnya mereka yang kehilangan sanak keluarga dan orang tua. Bencana alam ini telah memupus masa depan mereka. Jika simpati dan empati tidak diberikan kepada mereka, melalui pertolongan orang tua asuh, kemungkinan besar mereka yang luput dari bencana itu akan terlempar ke tepi jalan dan menjadi anak jalanan. Bencana alam telah memupus masa depan anak-anak yang kehilangan kerabat dan orang tua mereka. Oleh karena itu, kepedulian sosial sangat mereka butuhkan.

"Organisasi" anak jalanan, yang menghimpun dan "mengekalkan" mereka di dalam kondisi seperti itu, dapatlah dianggap sebagai anak jalanan yang malang. Mereka terperangkap dalam situasi buruk yang dikondisikan, demi kepentingan orang dewasa yang mengorganisasi mereka. Petaka seperti ini patut diwaspadai oleh pihak yang berwenang.

APA KATA ALKITAB MENGENAI ANAK-ANAK?

Banyak orang mengatakan bahwa anak jalanan yang sudah "terbiasa" dengan kehidupan sebagai pengemis, sulit ditarik dari tempatnya. Kalaupun mereka "diambil" dari tempat itu dan kemudian diasuh atau dipekerjakan di rumah secara baik-baik, mereka toh akan kembali dan lebih suka dengan kehidupan itu. Sebenarnya, hal ini tidak perlu membuat putus asa. Perlu ada kesadaran seperti yang dimiliki oleh warga kota Esteli. Kesadaran merupakan sesuatu yang harus digugah.

Bagaimanakah sebenarnya hakikat anak-anak menurut Alkitab? Kita perlu kembali kepada filsafat Alkitab setiap kali memikirkan anak jalanan di negeri kita ini. Usaha-usaha sosial yang tidak dilandasi oleh filsafat religius yang utuh. Padahal aspek rohani harus dibangun seiring dengan aspek jasmani mereka.

Konon, satu dari 13 bersaudara keluarga Yakub (12 lelaki, 1 orang perempuan), yaitu Yehuda, sangat bersimpati kepada Benjamin, adik bungsunya yang lelaki itu. Ada dua pihak yang saling berkaitan dan sulit dipisahkan dalam suasana keluarga yang dicerminkan dalam ayat berikut. "Sebab masakan aku pulang kepada ayahku, apabila anak itu tidak bersama-sama dengan aku? Aku tidak akan sanggup melihat nasib celaka yang akan menimpa ayahku" (Kejadian 44:34). Ada kepedulian atas nasib adiknya, Benjamin, dan juga tanggung jawab atas orang tua yang amat mengasihi adiknya itu. Kasih sayang adalah unsur yang merekatkan anggota keluarga dan saling memikirkan nasib sesama.

Hal lain yang membuat anak-anak terpelanting ke jalan raya dan hidup bagai burung (siang beratapkan langit yang terik, malam beratapkan embun yang dingin) ialah pendidikan. Pendidikan anak sama halnya dengan disiplin. Orang tua bertanggung jawab untuk memberikan pendidikan kepada anak-anak mereka, bekal masa depan mereka. Bekal itu bukan bertumpu pada uang atau warisan yang besar. Pendidikan adalah modal utama yang akan mendisiplin anak demi masa depan mereka.

Perhatikanlah nasihat Raja Salomo berikut ini.

"Hajarlah anakmu selama ada harapan, tetapi jangan engkau menginginkan kematiannya" (Amsal 19:18). Barangkali maksudnya, ketika anak-anak itu "dihajar", janganlah dengan nafsu amarah yang tidak terkendali yang cenderung membuat anak itu kesakitan dan mengakibatkan ia berteriak, "Bunuhlah aku. Lebih baik mati daripada disiksa begini!"

Melainkan:

"Didiklah anakmu, maka ia akan memberikan ketenteraman kepadamu, dan mendatangkan sukacita kepadamu" (Amsa129:17).

Hasil akhir sebuah pendidikan adalah "ketenteraman jiwa" dan "mendatangkan sukacita". Ada tanggung jawab luhur yang dipikul oleh orang tua yang melahirkan anak ke dunia ini. Tanggung jawab yang sejati, yang penuh dengan rasa syukur, rasa hormat yang timbal-balik, yakni memberi kesempatan kepada anak-anak untuk memperoleh pendidikan yang sepadan dan sesuai dengan kehendak Tuhan.

Akhirnya, Yesus Kristus berkata seperti berikut.

"Maka Yesus mengambil seorang anak kecil dan menempatkannya di tengah-tengah mereka, kemudian Ia memeluk anak itu dan berkata kepada mereka: `Barangsiapa menyambut seorang anak seperti ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku. Dan barangsiapa menyambut Aku, bukan Aku yang disambutnya, tetapi Dia yang mengutus Aku`" (Markus 9:36,37).

Memulihkan anak jalanan adalah sebuah usaha yang luhur karena sesungguhnya anak-anak itu harus diberi peluang untuk hidup sebagaimana diri mereka sendiri dan mereka pun adalah anak-anak calon penghuni kerajaan surga!

Sumber:
  • Kalam Hidup November 2005 Tahun ke-75 No. 715, Drs. Wilson Nadeak, M.A., , halaman 4 -- 9, Kalam Hidup, Bandung, 2005.
  • No comments: