Wednesday, March 28, 2007

Pelayanan Anak di Rumah Sakit: Mengenal Kebutuhan-Kebutuhan Rohani

Pelayanan Anak di Rumah Sakit: Mengenal Kebutuhan-Kebutuhan Rohani


Yani berusia sepuluh tahun. Ia telah menjalani pembedahan tulang tengkorak dua hari yang lalu. Ada tumor berupa kista yang tumbuh kembali dan harus diangkat. Malam itu ia merasa sakit sekali. Kepalanya seperti akan pecah dan bahunya terasa nyeri. Saya mengobati Yani dengan Tylenol #3 setiap tiga sampai empat jam sebagaimana yang diperintahkan, namun pukul 10.00 malam ia masih resah dan tidak tenang. Ketika saya memasuki ruangan itu untuk memeriksa infusnya, ia sedang berteriak, "Tuhan, kasihanilah saya!" sambil menghempas-hempaskan tubuhnya di tempat tidur. Ibunya berusaha menghibur dia dengan mengusap-usap lehernya dan berbicara lembut-lembut kepadanya. Saya berkata, "Yani, saya merasa pasti bahwa Tuhan mengasihanimu dan akan menolongmu." Saya bertanya kepada ibunya apakah Yani biasa berdoa sebelum tidur dan ia menjawab, "Ya." Kemudian ibunya dan saya berdoa bagi Yani sementara saya mengusap-usap leher Yani. Dalam waktu lima menit Yani tertidur lelap.

Sebagai perawat di bagian pediatri selama beberapa tahun, saya mempunyai banyak pengalaman bersama anak-anak yang menjadi pasien di situ serta keluarga mereka dalam menghadapi saat-saat krisis. Melalui pengalaman-pengalaman itu saya telah diyakinkan bahwa selama krisis, dalam sakitnya anak-anak tidak hanya mempunyai kebutuhan-kebutuhan fisik, emosi, dan psikososial, tetapi juga kebutuhan rohani yang amat nyata. Namun, sebelum dapat menafsirkan/memastikannya, harus jelas dulu jenis-jenis kebutuhan rohaninya itu. Dalam Korintus 13 kita membaca bahwa "yang tinggal ialah iman, pengharapan, kasih." Pada ketiga hal ini saya tambahkan pengampunan, suatu kebutuhan rohani yang telah saya ketahui dengan jelas.

IMAN: RISIKO MEMERCAYAI

Seseorang yang beriman kepada Allah mempunyai damai sejahtera dan mampu memercayai orang lain. Suatu perasaan bahwa "semua akan menjadi beres" akan meresap terus dalam dirinya. Tanpa iman seseorang akan takut dan khawatir. Hubungan seorang anak dengan orang tua dan orang-orang dewasa lain yang berwewenang merupakan dasar utama bagi perkembangan iman kepada Allah. Jika seorang anak belajar dari pengalamannya bahwa orang-orang dewasa yang dihargainya dapat dipercayai, kepercayaan akan kesetiaan Allah biasanya timbul secara wajar.

Namun Peter, sepuluh tahun, mendapati bahwa kepercayaan merupakan suatu risiko. Ia harus ditransfusi untuk menambah darah sebagai bagian dari kemoterapi (pengobatan kimiawi). Ia tampak kaget dan berteriak, "Saya tidak mau darah orang lain!" Saya bertanya, "Apa sebabnya?" Dan ia menjawab, "Pokoknya saya tidak mau! Bagaimana kalau darah itu darah orang Jepang? Nanti mata saya akan kelihatan lucu!" Saya meyakinkan dia bahwa darah tidak akan mengubah wajah seseorang. Ia menjawab, "Bagaimana Suster tahu? Apakah Suster pernah ditransfusi?" Saya terpaksa mengakui bahwa saya tidak pernah. Namun, saya tambahkan bahwa saya telah melihat banyak anak yang menerimanya dan mereka sama sekali tidak kelihatan berubah sesudahnya.

"Tetapi bagaimana nanti, kalau darah itu darah seorang perempuan? Saya tidak mau darah seorang perempuan!" Karena tidak tahu apa yang terjadi kalau ditransfusi, hal itu membuat dia semakin gelisah. Saya menjelaskan jenis-jenis golongan darah dan bagaimana darahnya disesuaikan dengan darah yang akan diterimanya. Saya mengatakan bahwa satu-satunya hal yang terjadi dengan penambahan darah ialah memberi dia lebih banyak sel darah untuk membuat dia lebih kuat, sampai tubuhnya sendiri dapat membuat lebih banyak sel darah. Ibu dari salah seorang teman sekamar Peter menceritakan bahwa ia pernah ditransfusi dan sehat sampai saat ini. Akhirnya, Peter mengizinkan saya untuk memulai transfusi. Selang 45 menit kemudian, ia tertidur.

PENGHARAPAN: DORONGAN UNTUK MAJU TERUS

Orang-orang yang mempunyai pengharapan bersikap positif dan optimis. Tanpa pengharapan, akan timbul pikiran yang negatif dan depresi. Kasus Jodi merupakan contoh yang baik.

Jodi menderita penyakit Hirschsprung (gangguan pada usus yang menyebabkan tersumbatnya penyaluran tinja). Penyakit bawaan ini memerlukan banyak prosedur operasi untuk memperbaiki keadaannya. Pada usia sembilan tahun ia dibawa ke rumah sakit karena ususnya melekat dan perlu dioperasi lagi. Masalah yang terbesar ialah bahwa Jodi membenci selang (pipa karet/plastik) yang dimasukkan dari hidung ke lambung. Ia tahan menerima pemberian makanan yang disuntikkan melalui pembuluh darah (infus) dan tidak keberatan diambil darahnya. Namun, selang makanan yang dimasukkan dari hidung ke lambung merupakan suatu hal yang paling tidak bisa ditahannya. Pada hari kedua setelah operasi, selang itu biasanya dicabut. Tetapi Jodi masih belum buang angin sehingga selang itu harus tetap dipasang. Anak yang cerewet dan suka tersenyum ini mulai cemberut, tidak mau menjawab pertanyaan, bermuka masam, dan menangis.

Beberapa hari telah berlalu, tetapi ia masih belum juga buang angin. Jodi sangat murung, namun demikian "selang jangan dicabut" merupakan satu-satunya pilihan dokter. Ibunya berusaha menghibur dia, memancing dia agar menjawab pertanyaan, membuat lelucon dan berkelakar -- tetapi tidak ada perubahan pada wajah Jodi. Pada hari ke enam, saya berkata kepadanya, "Jodi, kamu pasti sangat sedih dan marah karena selang di hidungmu itu. Saya sama sekali tidak menyalahkan kamu bila kamu tidak mau berbicara kepada siapa pun. Pasti kamu merasa tidak berdaya dan sangat sedih karena tidak tahu kapan akan dicabut."

"Ya, memang." Itulah responsnya, ucapan pertama kali yang keluar dari mulutnya selama beberapa hari itu.

"Para dokter juga merasa amat sedih," kata saya. "Mereka ingin mencabut selang itu secepat mungkin. Kami semua berharap dapat segera mencabutnya."

Pada malam itu saya berbicara dengan ibu Jodi tentang perasaannya. Ibu itu menjadi tidak terlalu banyak menuntut. Malamnya Jodi ikut serta dalam pembacaan Alkitab dan berdoa yang mereka adakan setiap hari, hal yang belum pernah dilakukannya sejak dioperasi.

Pada malam itu saya berbicara dengan ibu Jodi tentang perasaannya. Ibu itu menjadi tidak terlalu banyak menuntut. Malamnya Jodi ikut serta dalam pembacaan Alkitab dan berdoa yang mereka adakan setiap hari, hal yang belum pernah dilakukannya sejak dioperasi.

KASIH: RASA MEMILIKI DAN DIMILIKI

Kasih memberikan rasa harga diri dan martabat, suatu perasaan memiliki dan dimiliki. Seorang anak yang tidak merasa dikasihi cenderung merasa kesepian dan terasing. Suatu percakapan dengan Maria menunjukkan dengan jelas kepada saya bagaimana seorang anak yang dirawat di rumah sakit dapat merasa tersisih dan terasing.

Pada suatu malam Maria, tiga belas tahun, seorang pasien yang menderita fibrosis sistik, bertanya apakah ia boleh berbicara dengan saya. Lantai kamarnya berantakan dan semua perawat sedang prihatin terhadap seorang gadis lain yang juga menderita fibrosis sistik. Susana, delapan tahun, menderita korpulmonale dan berada dalam keadaan kritis selama beberapa hari. Maria sering bercakap-cakap dengan Susana, namun saya tidak tahu apakah ia menyadari betapa kritisnya keadaan Susana. Sesudah pukul 23.30 barulah saya dapat menyediakan waktu untuk berbicara dengan Maria.

"Coba bayangkan, setiap orang di sekitar sini tahu bahwa Susana akan meninggal, tetapi tidak seorang pun mau memberitahukannya kepada saya!" katanya. Saya merasa bersalah. Tentu saja ia berhak mengetahuinya. Sampai saat itu kami terus berusaha merahasiakannya demi melindungi dia. Padahal efeknya malah sebaliknya, kami telah menutup kesempatan bagi dia untuk membagikan perasaannya dengan kami, seolah-olah kami menyisihkan dia pada waktu ia sangat memerlukan seseorang untuk diajak berbicara. Saya telah menghindari Maria, membuat diri saya kelihatan sibuk bila berada di dalam ruangannya, dengan berharap bahwa ia tidak akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan, dan berusaha untuk melupakan di antara kami berdua bahwa kematian Susana tak dapat dihindari lagi. Saya pura-pura tidak melihat usaha Maria untuk menghampiri saya dengan cara mondar-mandir di sekitar kantor para perawat, namun ia berbicara dengan keras untuk menarik perhatian; ia menunjukkan sikap diam dan wajah cemberut yang tidak biasa padanya.

Kami berbicara lama sekali. Saya mengakui perasaan saya terhadap Maria dan membagikan kepadanya keyakinan saya bahwa Susana sudah berada bersama Tuhan, bahwa Tuhan mengasihi Susana jauh lebih daripada kami, dan bahwa sekalipun Susana meninggal saya akan bertemu kembali dengan dia kelak di surga. Kemudian kami menangis bersama, sambil saling berbagi kesedihan karena kehilangan seseorang.

PENGAMPUNAN: MENGANGKAT BEBAN

Tanpa pengampunan, seorang anak akan dibebani rasa bersalah, yang membuatnya bahkan lebih sukar untuk mengatasi sebuah krisis. Billy, delapan tahun, bersikap patuh selama tinggal di rumah sakit. Saya telah berusaha melibatkan dia dalam beberapa kegiatan, namun ia menarik diri dan berbicara pun hanya sedikit sekali.

Suatu hari ia bertanya, "Mengapa saya mengalami fibrosis sistik? Apakah karena saya nakal?" Ibunya dan saya meyakinkan Billy bahwa dia sama sekali tidak bersalah; bahwa ia dilahirkan dengan mengidap penyakit itu sama halnya seperti beberapa anak lain yang sedang duduk-duduk di lantai, yang dilahirkan dengan kelainan jantung, dan pula bahwa Tuhan tidak memberikan penyakit kepada anak-anak itu sebagai hukuman. Sejak saat itu, Billy lebih bisa mengungkapkan perasaannya dengan kata-kata.

Iman, pengharapan, kasih, dan pengampunan -- anak-anak dan keluarga mereka cenderung mengalami salah satu atau semua dari empat kebutuhan rohani ini selama sakit. Kebutuhan-kebutuhan ini dinyatakan dengan kata-kata maupun tanpa kata-kata -- secara verbal maupun nonverbal; secara samar maupun blak-blakan. Dengan melihat petunjuk-petunjuk verbal dan nonverbal, kita mungkin dapat menjajaki kebutuhan-kebutuhan rohani. Melalui komunikasi dan penelitian yang lebih jauh, kita mungkin dapat memastikan diagnosa-diagnosanya dan menjadi lebih diperlengkapi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut.

Oleh: Dianne Stannard

Sumber:
Kebutuhan Rohani Anak, Judith Allen Shelly, , halaman 88 -- 92, Yayasan Kalam Hidup, Bandung, 1982.

No comments: