Wednesday, March 28, 2007

Bermain Game, Baik atau Buruk?

Bermain Game, Baik atau Buruk?


Meski industri game berkembang sangat pesat belakangan ini (bayangkan, 34 miliar dolar per tahun di Amerika saja), tapi sampai sekarang media hiburan yang satu ini masih saja menimbulkan pro dan kontra soal baik-buruknya. Mulai dari kalangan politikus, orang tua, guru, bahkan gamer sendiri tak pernah berhenti mempermasalahkan dampak dari game.

Bak petarung di game yang berhadapan satu lawan satu, "baik" dan "buruk" akan terus saling mendominasi. Kalau Anda punya sedikit waktu, bolehlah ikut menyaksikan pertarungan dua kubu ini. Menang atau kalahnya tentu berpulang pada diri sendiri. Siap?!

VIDEO GAME ITU BURUK

Membuat orang jadi bodoh!
Tak disangka kalau pernyataan ini justru datang dari tanah airnya video game, Jepang! Profesor Ryuta Kawashima di Universitas Sendai`s Tokohu menyimpulkan bahwa "sound" dan "vision" game-game Nintendo dapat merusak sebagian otak, walaupun tidak menstimulasi bagian lain. "Kami cemas dengan generasi anak-anak berikutnya yang main video game," ujar Kawashima.

"Kegiatan ini berdampak munculnya kekerasan di masyarakat. Anak-anak itu akan berlaku yang lebih buruk lagi kalau mereka cuma main game dan mogok belajar matematika atau tidak suka membaca."

Membuat orang terisolir!
Dulu pernah terjadi kematian tragis gara-gara game. Shawn Woolley, fans berat EverQuest tewas setelah bermain game online. Kini ibu Woolley mengelola OnLine Gamers Anonymous, grup berbasis Web untuk orang-orang telah terisolasi dan terbuang akibat game. Jumlah anggotanya sekarang mencapai 650 orang (data terakhir tahun 2003).

Membuat orang ketagihan.
Orang tua, pasangan suami istri, dan sejumlah ilmuwan mengamati fenomena yang disebut "ketagihan video game". Fenomena ini sering terjadi di kalangan penggemar game berjenis Massive Multiplayer Online RPG (MMORPG) seperti Ragnarok Online, Pangya, atau serial klasik EverQuest. Mereka jadi malas bekerja, bersosialisasi dengan teman, bahkan kehilangan nafsu makan.

Pokoknya, yang terpikir di benak mereka hanyalah game, game, dan game! Baru-baru ini terjadi tiga kasus di Asia, di antaranya seorang pemuda yang pingsan di WARNET setelah berjam-jam bermain game online. Psikolog tak tinggal diam melihat fenomena ini, mereka pun beraksi.

Maressa Orzack, dosen fakultas psikologi di Harvard University, mengelola klinik pertama di Amerika yang melayani jasa konsultasi bagi pencandu game. Tempatnya di Rumah Sakit McLean.

Mengganggu Kesehatan!
Belakangan ini kritik bermunculan seputar pengendali (controller) yang bisa menimbulkan rasa sakit di jari dan tangan. Pada tahun 2002, Jurnal Kesehatan Inggris memublikasikan artikel tentang seorang anak berusia lima belas tahun yang mengalami radang jari tangan setelah main Playstation selama tujuh jam non-stop. Dokter-dokter menganalisa kalau anak itu menderita "sindrom vibrasi lengan" karena terlalu lama memegang pengendali.

Menimbulkan kekerasan!
Kalau boleh dibilang, ini adalah salah satu alasan terbesar mengapa video game dianggap buruk. Kontroversi ini muncul tahun 1993 ketika senator Joseph Lieberman berkampanye menentang serial Mortal Kombat, sebuah game pertarungan yang penuh adegan kekerasan dan banjir darah. Ia juga menarik penayangan serial tv anak, Captain Kangaroo.

Menurut Lieberman, orang tua harus berjaga-jaga dengan "wabah penyakit" yang bisa menyerang anak-anak di rumah. Soalnya wabah yang satu ini dapat menimbulkan kekerasan. Sejak saat itu, para ahli bedah dan asosiasi psikologi Amerika "tergoda" untuk menghubungkan kekerasan video game dengan kenyataan yang terjadi. Sayang, hasil penelitian itu belum juga ditemukan.

VIDEO GAME ITU BAIK

Membuat orang pintar!
Penelitian di Manchester University dan Central Lanchashire University membuktikan bahwa penggemar game yang bermain game 18 jam per minggu memiliki koordinasi yang baik antara tangan dan mata setara dengan kemampuan atlet. Dr. Jo Bryce, kepala penelitian menemukan bahwa hardcore gamer punya daya konsentrasitinggi yang memungkinkan mereka mampu menuntaskan beberapa tugas.

Penelitian lain di Rochester University mengungkapkan bahwa anak-anak yang memainkan game action secara teratur memiliki ketajaman mata yang lebih cepat daripada mereka yang tidak terbiasa dengan joypad.

NASA telah mengembangkan sistem biofeedback yang menggunakan game-game PS, seperti Spyro the Dragon dan Tony Hawk`s Pro Skater untuk meningkatkan daya konsentrasi pilot pesawat tempur. Lalu sebuah perusahaan bernama Attention Builders memasarkan home version-nya sistem yang dikeluarkan NASA itu untuk meningkatkan kinerja otak.

Rajin membaca!
Video game dibuat bukan untuk menggantikan buku. Jadi, keluhan soal bermain game yang dapat menurunkan budaya membaca tidaklah beralasan. Justru kebalikannya. Psikolog di Finland University menyatakan bahwa video game bisa membantu anak-anak dislexia untuk meningkatkan kemampuan baca mereka.

Begitu pula gamer yang hobi memainkan game berjenis role-playing game (RPG) di konsol modern. Dialog-dialog dalam RPG-RPG kenamaan seperti Final Fantasy dan Phantasy Star dapat memacu otak untuk mencerna cerita.

Membantu bersosialisasi!
Beberapa profesor di Loyola University, Chicago telah mengadakan penelitian dalam komunitas Counter Strike, game First Person Shooter PC yang telah dibuat versi Xbox-nya. Menurut mereka, game online dapat menumbuhkan interaksi sosial yang menentang stereotip gamer yang terisolasi. Sama juga dengan komunitas game RPG EverQuest dan Phantasy Star Online. Game-game ini menyediakan sarana interaksi sosial di kalangan anak remaja.

Mengusir stres!
Politikus dan orang tua meributkan kekerasan akibat video game. Sebetulnya, mereka tak mau mengakui kalau game itu salah satu cara yang tidak berbahaya untuk mengusir stres. Pertempurannya virtual, senjatanya palsu, dan darahnya juga bohongan. Bahkan "first-person shooter" yang paling keras pun serba digital. Para peneliti di Indiana University menjelaskan bahwa bermain game dapat mengendurkan ketegangan syaraf.

Memulihkan kondisi tubuh!
Game terbukti dapat digunakan untuk pasien yang sedang mendapat terapi fisik. "Biarkan mereka main," kata Dr. Mark Griffiths, psikolog di Nottingham Trent University. Ia melakukan penelitian sejauh mana manfaat game dalam terapi fisik.

"Latihan fisik yang berulang-ulang dan membosankan agak sulit menyembuhkan seseorang akibat luka parah." Pengenalan video game dalam terapi fisik ternyata sangat menguntungkan. Beberapa game digunakannya untuk membentuk otot sampai melatih anak-anak yang menderita diabetes sebagai pelengkap pengobatan medis.

*) Penulis, Eko Ramaditya Adikara (Rama), adalah seorang tuna-netra yang gemar menulis menggunakan komputer. Penulis tergabung dalam Yayasan Mitra Netra (MitraNetra.or.id). Blog pribadinya dapat dibaca di alamat www.ramaditya.com.

Oleh: Eko Ramaditya Adikara

Sumber:
  • DetikInet, Eko Ramaditya Adikara, http://www.detikinet.com/index.php/detik.read/tahun/2006/bulan /07/tgl/31/time/122559/idnews/646663/idkanal/399.
  • No comments: